MYSEKRETARIS.MY.ID - Saya selalu punya ketertarikan khusus dengan batik. Setiap kali melihat motif-motifnya yang rumit, saya merasa sedang membaca sebuah cerita panjang tentang budaya dan jati diri bangsa.
Sejak kecil, saya selalu menganggap batik bukan sekadar kain, melainkan karya seni yang sarat makna. Setiap goresan lilin dan garis motifnya seperti menyimpan rahasia, doa, dan harapan dari pembatik yang menorehkannya.
Ada kesungguhan yang terasa begitu mendalam, seolah waktu ikut melambat ketika sebuah kain putih perlahan berubah menjadi kanvas penuh cerita. Bagi saya, inilah keindahan batik: ia lahir dari ketekunan, kesabaran, dan cinta pada tradisi yang tak lekang oleh zaman.
Batik juga memberi saya perasaan terhubung dengan masa lalu. Ketika memandang motif parang, kawung, atau mega mendung, saya merasa seakan sedang berdialog dengan nenek moyang yang menitipkan pesan lewat simbol-simbol itu.
Ada nilai kesederhanaan, kebijaksanaan, hingga semangat perjuangan yang terkandung di dalamnya. Mungkin inilah alasan mengapa batik selalu membuat saya merasa lebih dekat dengan akar budaya saya sendiri. Ia tidak hanya melekat di tubuh, tetapi juga menyentuh hati.
Dan yang paling saya kagumi, batik adalah bukti nyata bahwa tradisi bisa abadi melalui tangan-tangan manusia. Di balik setiap kain yang tercipta, ada ketekunan yang tak tergantikan oleh mesin, ada jiwa yang hidup di setiap titik dan lengkungannya.
Kesungguhan itulah yang membuat batik bagi saya terasa klasik, anggun, dan penuh wibawa. Inilah warisan budaya yang layak untuk terus dijaga dengan rasa hormat dan cinta.
***
Karena itu, ketika mendengar ada sebuah desa yang konsisten melestarikan batik dengan sentuhan kreatifitas baru, saya langsung penasaran. Desa itu adalah Desa Ngoran di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, desa yang kini dikenal bukan hanya karena alamnya, tetapi juga karena batik Bumiaji yang lahir dari tangan-tangan warganya.
Awalnya, batik di desa ini digagas oleh Anjani Sekar Arum, seorang lulusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang. Sejak 2014, ia mulai memamerkan batik karyanya hingga sempat dilirik oleh Kedutaan Ceko. Dari situ, jalan menuju pengakuan global terbuka. Namun, kisah sesungguhnya justru berawal ketika ia pulang ke Bumiaji dan memutuskan untuk mengajar anak-anak desa membatik.
Yang menarik, Anjani tidak ingin sekadar mencetak pengrajin baru. Ia ingin anak-anak belajar mencintai budaya mereka sendiri. Dari sini lahirlah Omah Pembatik Cilik, sebuah ruang belajar batik yang kini menampung lebih dari 80 siswa dari delapan sekolah di sekitar desa. Bayangkan, anak-anak yang biasanya bermain gadget kini terbiasa memegang canting, mencampur warna, dan menceritakan kisah lewat kain batik mereka sendiri.
Program ini kemudian semakin berkembang berkat dukungan Desa Sejahtera Astra (DSA). Tidak hanya dari sisi pembinaan dan dana, Astra juga membantu pemasaran dan pendampingan agar produk batik Bumiaji lebih dikenal luas.
Hasilnya? Batik bukan lagi sekadar warisan, melainkan juga sumber ekonomi baru bagi desa. Bahkan, beberapa keluarga yang sebelumnya hanya mengandalkan hasil tani kini punya tambahan pemasukan dari penjualan batik. Perubahan ini terasa nyata: ibu-ibu rumah tangga mulai ikut membatik, pemuda desa terlibat dalam promosi digital, dan anak-anak memiliki rasa bangga saat karya mereka dipamerkan dalam acara budaya.
Yang membuat saya kagum, semangat melestarikan budaya ini tidak berhenti pada batik saja. Dari batik lahirlah berbagai kegiatan lain, seperti pertunjukan bantengan bocil (versi anak-anak dari kesenian bantengan). Bedanya, bantengan bocil ini tidak berunsur mistis, melainkan lebih menekankan seni bela diri dan ekspresi budaya dengan busana batik sebagai elemen utamanya. Bahkan, ada pula pelatihan kriya sederhana, pameran kecil-kecilan di balai desa, hingga program wisata edukasi batik untuk pelajar dari luar daerah.
Seiring waktu, desa ini makin dikenal. Turis asing mulai datang, menginap di rumah-rumah warga, bahkan anak-anak pun mulai belajar bahasa Inggris. Semua ini bukan karena paksaan, melainkan karena kebutuhan nyata: mereka ingin bisa bercerita tentang budaya mereka kepada tamu dari luar negeri.
Kehadiran turis juga memberi warna baru dalam kehidupan warga. Mereka belajar menerima perbedaan, membuka diri, dan menemukan kepercayaan diri bahwa budaya lokal bisa mendatangkan apresiasi global.
Seperti kata Anjani, “Keberhasilan itu tidak selalu terukur dengan angka, tetapi seringkali dalam bentuk kesadaran kecil.” Dan saya setuju. Kesadaran kecil itulah yang membuat sebuah desa bisa bangkit, dari sekadar desa pertanian menjadi pusat kreativitas budaya.
Bagi saya pribadi, Desa Ngoran menjadi pengingat bahwa batik bukan hanya kain bermotif indah. Ia adalah kisah gotong royong, warisan leluhur, dan harapan generasi muda. Dan ketika batik Bumiaji menembus pasar global, itu bukan hanya kemenangan ekonomi, tetapi juga kemenangan identitas.
Lebih dari itu, ia menjadi simbol bahwa perubahan besar selalu bisa dimulai dari langkah-langkah kecil, dari desa terpencil sekalipun.
0 Comments